Rabu, 20 Juni 2012

Demokrasi Sebuah Simbol Politik




Pesta demokrasi terbesar telah berakhir. Saatnya menunggu mentari pagi menyambut dengan senyuman yang lebih berarti. Tak akan usang menunggu para politikus ulung memainkan kata dan bersilat lidah untuk menyukseskan apa yang mereka inginkan. Dengan agenda program dan janji-janji palsu telah disebarkan, air-air kemunafikan telah disemburkan. Dengan mengatasnamakan demokrasi banyak yang mendukung dan mendulang suara banyak di dalam pemilu. Memang kita terkadang tertipu dengan jargon yang disampaikan oleh para elite-elite politik, dan banyak dari masyarakat bahkan para aleg (anggota legislatif) yang tak mengerti esensi dari demokrasi tersebut.

Demokrasi. Siapa yang tidak tahu, atau setidaknya, tidak pernah mendengar tentang demokrasi? Semua orang pasti mengetahui tentang apa itu demokrasi. Demokrasi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hampir semua negara di dunia sudah menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya.

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, “Demos” yang berarti rakyat atau masyarakat, dan “Crato” yang berarti pemerintah. Berdasarkan terminologi ini, demokrasi mengandung makna pemerintahan mutlak ada di tangan rakyat. Atau yang lebih kita kenal dengan: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintah yang memimpin sebuah negara demokrasi dipilih oleh rakyat, melalui suara terbanyak.

Hukum-hukum yang berlaku di negara demokratis adalah hukum-hukum manusia. Hukum ini dibuat oleh perwakilan rakyat, dan dijadikan sebuah hukum yang mengikat dalam bentuk undang-undang. Semua orang harus mematuhi undang-undang (hukum) buatan manusia ini. Siapa saja yang melanggar akan dikenai sanksi.

Pencetus sistem demokrasi adalah kaum kufar. Tujuan dari pencetusan sistem ini adalah untuk “menciptakan” persamaan hak bagi semua warganya. Namun dalam perjalanannya, sistem ini justru memicu munculnya berbagai faham yang menandinginya. Diantara faham tersebut diantaranya adalah fasisme dan komunisme, yang berseberangan dengan demokrasi itu sendiri. Setelah kedua faham tersebut musnah, demokrasi menjadi “jawara” sistem pemerintahan yang banyak digunakan oleh negara-negara di dunia.

Lantas, bagaimanakah pandangan Islam tentang demokrasi? Apakah sistem demokrasi ini sesuai dengan ajaran Islam?
Sebelum kita memasuki hukum tersebut maka yang harus dimengerti adalah makna dari politik itu. Dunia politik adalah dunia yang sarat dengan jargon dan ungkapan yang sangat bombastis. Karena watak dari politik adalah bagaimana mendapatkan dukungan dan suara sebanyak-banyaknya. Dan memang tidak jarang, jargon yang selalu didengungkan di dalam iklan partai politik terkadang tidak sesuai dalam tataran aplikatif.





Jargon demokrasi

Dan saat ini bukan hanya Indonesia saja yang ngetrend terminologi demokrasi, melainkan juga di dunia. Istilah demokrasi sangat kental di telinga kita semua. Dan setiap mereka punya istilah yang sama, tapi bisa jadi esensi dari demokrasi itu berbeda-beda.

Kita juga kenal dengan seorang proklamator Indonesia, Soekarno menggunakan istilah demokrasi, namun banyak kalangan juga yang menilai bahwasanya ia seorang diktator. Dan bukankah juga kita kenal dengan seorang yang dijuluki sebagia Bapak Pembangunan, ia mengusung nama demokrasi? Mempunyai nama yang sama, tetapi dalam isi dan esensi yang jauh berbeda. Demokrasi yang dibawa Soekarno dengan sebutan “demokrasi terpimpin” sedang demokrasi yang dibawa soeharto “demokrasi pancasila”.

Demokrasi tinggi “mahar”-Nya.

Setiap orang banyak mengungkapkan kata demokrasi, tetapi di lapangan jauh berbeda kenyataannya. Banyak obral janji mengatasnamakan akan mengusung faham demokrasi, padahal esensi dari demokrasipun disalahartikan. Dengan semakin moderennya kurun waktu saat ini, kata demokrasi adalah bentuk lawan dari kediktatoran, kedzaliman, keserakahan, korupsi. Dan partai yang berasaskan Islam tidak mengusung demokrasi. Karena sebagian umat Islam banyak yang berpendapat demokrasi bukan dari Islam, berarti harus dijauhi, dan dibuang ke tong sampah.

Jadi banyak partai yang tidak berasaskan Islam di Indonesia mengeluarkan statemen, bahwasanya partainya mengusung demokrasi. Memang terbukti jargon mengusung demokrasi sangat jitu dalam meraih suara. Kita lihat saja di negara kita, partai Islam kalah di Indonesia dibandingkan partai nasionalis, kenapa? Karena yang didengungkan partai Islam sesuatu yang masih phobia didengar oleh masyarakat.

Seperti khilafah Islamiyah, penegakan syariah. Itu yang membuat masyarakat Indonesia masih takut. Dan belum relevan untuk direalisasikan di Bumi Pertiwi saat ini. Tetapi kenapa jargon syariah, pendirian khilafah itu sudah dimunculkan di permukaan, bukankah semua butuh proses, dengan istilah “slowly but sure”?
Tetapi karena cerdiknya partai yang mengusung faham demokrasi -walau hanya sekedar jargon saja, tidak ada bukti kongkrit, dan tidak mendapatkan esensi dari faham itu- mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat. Karena masyarakat lebih takut seandainya syariah diterapkan di Indonesia; yang terpikir adalah potong tangan, rajam, dan segala sesuatu yang berbau kekerasan itulah syariah, yang akan diaplikasikan jika seandainya partai Islam menjadi penguasa di Indonesia.

Padahal sesungguhnya, malah kita ketahui, yang banyak melakukan korupsi, sekandal perempuan, illegal mining, itu partai di luar Islam. Malah ada dari partai Islam yang mengembalikan gratifikasi uang, tidak ada yang terjerat korupsi. Tetapi itulah pentingnya sebuah jargon: atas nama demokrasi.

Nabi berpartai, berdemokrasi.

Sesungguhnya nabi Muhammad saw dan para sahabatnya tidak pernah mengenal pemilu, atau pesta demokrasi yang sekarang ada di negara kita, apalagi membangun partai atau mengurusi partai politik. Dan itu disepakati oleh para ahli sejarah, para ulama, dan juga semua umat Islam.

Dengan realita yang seperti itu, maka sebagian umat Islam mengharamkan mendirikan partai politik, dengan landasan tidak pernah Rasul dan para sahabatnya mengerjakan itu. Bahkan ada statemen unik, mem-bid’ah-kan perbuatan itu, dan akan masuk neraka orang yang berpolitik. Ada juga yang berasumsi bahwasanya demokrasi yang dilakukan itu adalah sistem kafir. Maka semakin haram saja hukumnya.

Dan di seberang pendapat ada yang mengungkapkan tidak jadi masalah kita melakukan politik praktis, walau tidak dilakukan Rasul, karena dengan tujuan untuk meng-islah-kan sesuatu yang telah rusak di parlemen. Pendapat ini dikomandoi syeikh al-Banni, Muhammad Rasyid Ridha, Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, dll.

Penutup

Jadi jargon itu penting dalam segala hal, terkhusus yang berkenaan dengan demokrasi. Sedang tentang demokrasi hukum Islam mempunyai banyak pendapat; ada yang membolehkan, atau pun sebaliknya. Jadi kita harus realistis memberikan asumsi dalam masalah kekinian, tidak semena-mena mengharamkan demokrasi apalagi mem-bid’ah-kan. Sedangkan ulama kelas ataspun membolehkan, asalkan untuk kebaikan dan merubah menjadi yang lebih berkwalitas.

Kita hidup di dunia nyata, maka jangan kita menghayal di dunia mimpi yang tak ada gunanya untuk kebangkitan umat Islam. Kita akan selalu kerdil. Sekarang dunia telah menggunakan jargon demokrasi, termasuk Indonesia. Maka sebaiknya umat Islam juga mempunyai makna ini, dan mengikuti perkembangannya. Kalau ada kekurangannya maka tugas kita untuk memperbaikinya, bukan “demam” jika mendengar kata ini.
Jadi kita harus memandang Islam secara lugas, memahami syariah secara dewasa dan jangan kaku, agar tidak menyebabkan kebuntuan akal dalam memahami permasalahan umat yang kompleks dan terus dinamis. Wallahu a’lam bishwab

Tidak ada komentar: