Rabu, 20 Juni 2012

Relevansi Sekularisme dan Phobia Politik

wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total.” (S.Q. al-Baqarah: 208 )

Sering kita temukan, dari sekitar kita maupun teman kita; perbincangan tentang politik. Ada yang mengatakan kita tak perlu ikut politik, karena seperti itu adalah suatu sikap untuk melawan pemerintah, misalnya dengan demonstrasi dan itu adalah bentuk melawan pemerintah yang bukan dari Islam, maka haram hukumnya. Dan orang yang mengikuti pemilihan umum (PEMILU) musyrik bahkan kafir. Tak sedikit yang memberikan statemen itu, jangankan orang yang baru “bernafas“ bahkan ulama juga turut ambil andil! Yang biasa disebut dengan “klaim ideologi” merasa ideologinya yang paling benar. Jika keadaan seperti ini dibiarkan, khawatir akan terjadinya chaos (kekacauan) di dalam diri umat Islam sendiri. Dan adanya polarisasi (pengaruh) dalam hubungan profan (sesama manusia ).

Tak susah kita temukan orang seperti ini. Yang selalunya memberikan stigma negatif kepada orang yang memperjuangkan perubahan atas prilaku pemerintah yang otoriter, yang merampas hak rakyat kecil, korupsi, dll. Dengan sebutan Khawarij, ketika masa awal Islam. Jadi mereka berasumsi bahwasanya orang yang melawan dan menentang pemerintah keji, adalah pekerjaan bathil. Naudzubillah.

Tak perlulah kita memandang jauh ke Indonesia. Kita lihat saja bagaimana Mesir -yang sekarang kita berada di dalamnya- ketika sebagian golongan berdemonstrasi untuk meminta pemerintah mendukung perjuangan tanah Palestina yang diakhiri dengan penangkapan para demonstran dan dimasukan ke bui.

Naifnya, sebagian yang lain hanya berkata: “Islam melarang demonstrasi, dan demontrasi haram hukumnya. Jadi bagus ditangkap.” Bayangkan, dalam kondisi yang sama, mereka sama-sama orang Mesir, tapi memiliki worldview (pandangan hidup) variatif. Yang satu memperjuangkan dan yang lain menghujat.

Kenapa ini terjadi? Kenapa mereka begitu takut terhadap politik? Sedangkan kita tahu, Islam menyuruh amar ma’ruf nahi munkar, apakah mereka tak mengenal hal yang fundamental (mendasar) ini. Tak mungkin. Bahwasanya kita tahu, Islam mengatur semua lini kehidupan, jika memisahkan antara politik dengan agama maka tak ayal jika disematkan dengan sebutan sekular (orang yang memisahkan agama dan politik). Bukankah dalam tulisan Samuel Hauntington dalam buku Clash of Civilization and the Remaking in the World yang monumental, bahwasanya Islam sangat ditakuti oleh Barat setelah runtuhnya komunis.

Kenapa? Karena Islam mengatur semua lini kehidupan, dan yang paling ditakuti –terkhusus- berkenaan dengan politik yang dianut dan mengakar di diri umat Islam.

Yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana kita menganalisa dunia saat ini, melihat hal yang (waq’i) rill dan kongkrit. Jangan hanya berkutat dengan masalah khilafiyat (perbedaan) dan tarikhiyah (sejarah) saja. Kapan Islam maju, kalau di sana ada golongan yang hanya bisa memberikan stigma negatif dan negatif thinking (suudzhon) terhadap sesama Muslim? Bahkan ketika ada peperangan antara Hizbullah dan Israel, dalam golongan Islam sendiri ada yang mengatakan tak perlu Hizbullah itu dibantu; karena Syi’ah. Bagaimana dalam kondisi peperangan yang sengit itu, antara Kafir dan Musilm masih ada dalam umat Islam yang mendukung Yahudi. Naudzubillah

Kita sebagai mahasiswa perlu untuk bisa melihat keadaan dengan analisa dan data, jangan hanya taklid buta dengan ulama yang adanya pressure (tekanan) bahkan takut terhadap pemerintahnya. Berfikirlah! Kapan mau maju, jika sesama muslim masih ingin menghujat. Semoga masalah ini tidak menjadi permanent confrontation (konflik abadi) dan “gunung es”.





Agama dan Politik

Hasan al-Banna mendefinisikan politik dalam makna internalnya seperti mengatur roda pemerintahan, mengartikulasikan tugas-tugasnya, merinci hak dan kewajibannya, mengontrol dan membantu para petinggi agar ditaati jika berbuat baik, dan dilurusakan jika menyimpang.

Islam adalah serangkaian hukum yang bersifat operasional. Jadi agama bersifat implementasi, bukan hanya berputar masalah teoritis.
Sesungguhnya ada perbedaan yang sangat fundamental tentang masalah kepartaian dan politik. Keduanya mungkin bisa bersatu dan tak mustahil jika berseteru. Mungkin seseorang disebut politisi dengan segala makna politik yang terkandung di dalamnya, namun ia tidak berinteraksi dengan partai atau bahkan tidak ada kecendrungan ke sana.

Mungkin ada pula orang yang berpolitik praktis (terjun ke dalam kepartaian) namun ia sama sekali tidak mengerti tentang politik. Atau mungkin ada pula orang yang mengkolaborasikan antara keduanya sehingga ia adalah politisi yang berpolitik praktis atau berpolitik praktis yang politisi dalam proposi yang sama.

Orang-orang non-muslim mengetahui bagaimana tekad kuat umat Islam dalam memperjuangkan keislamannya; dengan mengerahkan pikarannya, harta bendanya bahkan jiwanya, untuk tegaknya Islam di alam semesta ini. Dan mereka juga berfikir Islam mengatur semua lini kehidupan, Islam masuk dalam konstitusi, undang-undang, pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, dll. Karenanya –mereka yang kebakaran jenggot- menganalisa dan senantiasa berusaha melancarkan konspirasi terhadap umat Islam dan mempersempit ruang lingkup subtansif yang ada di Islam yang bersifat operasional. Oleh karena itu kita harus lebih mewanti-wanti saudara kita yang masih apatis terhadap Islam dan skeptis (ragu) dalam langkah perjuangan.

Terakhir penulis di sini mengajak kepada semua para mahasiswa, untuk bisa melihat dengan jujur terhadap realita yang ada di sekitar kita dengan menggunakan hati nurani. Ketika melihat saudara kita dibantai di Palestina, di Libanon, Irak, ataupun Afghanistan; apa yang bisa kita kerjakan untuk memajukan umat Islam -yang saat ini menjadi peradaban terkubur oleh zaman, jika dibandingkan dengan peradaban lain di muka bumi ini. Mari kita rebut kembali kejayaan Islam yang pernah menjadi leader (pemimpin) di dunia.

Kita juga tahu, bagaimana keruntuhan kekhilafahan Ustmaniyah di Turki, juga tak terlepas dari makar politik Yahudi dan Eropa untuk menghilangkan kekuatan Islam. Dan akhirnya tercapailah itu semua. Maka jika mereka merampas dengan kekuatan konspirasi politiknya, apakah kita terus takut akan politik dan phobia jika mendengar kata demonstrasi, politik, bahkan partai?

Merebut kembali peradaban Islam dengan cara memupuk persatuan di antara umat Islam dan menyatukan persepsi yang sama untuk menuju khilafah Islamiyah. Jika kita malas atau bahkan tidak mau berpartisipasi dalam perjuangan di jalan dakwah, itu lebih baik. Bila dibandingkan dengan orang yang menghalangi roda dakwah, sebagai duri di jalan yang hanya bisa “menghujat” tanpa bisa berbuat. Semoga (Red: Khilafah Islamiyah) terwujud berkat pikiran, mobilisasi dan kontribusi kita terhadap agenda dakwah untuk memajukan umat yang sedang tertidur dengan indahnya mimpi. Amin.
Waallahu a’lam.

Tidak ada komentar: